Mendobrak Metafora Akar-Pohon

by shyquasar

 

Sebuah usaha menulis tulisan yang (agak) filosofis. Banyak argumen yang berlubang di sana-sini. Banyak yang harus dipelajari lagi. 

Pola pikir filsafat Barat sering menggunakan metafora akar atau pohon. Biasanya, terdapat istilah semacam “Tree of Knowledge” atau “Root of Problem”. Metafora akar mengandaikan suatu perkembangan yang bermula dari Yang Absolut. Mungkin sering terdengar pernyataan semacam, “Mari kembali ke akar untuk mengetahui masalahnya,” Dari pernyataan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa segalanya dapat ditarik menuju Yang Satu. Begitu pula dengan pola penalaran pohon. “According to this metaphor, all sciences are begotten from the common trunk of philosophy, which provides their underlying unity. The metaphor survives until now in the common usage of the expression “branches” to refer to the different areas of science.[1] Namun, filsuf Post-Strukturalis Perancis Gilles Deleuze menolak penggunaan metafora pohon dalam tradisi filsafat ataupun ilmu pengetahuan. Filsuf yang mendobrak berbagai tradisi lawas ini menawarkan pengganti metafora akar-pohon dengan metafora rhizome.

Menurut Deleuze, cara berpikir itu (akar-pohon) cenderung bepusat pada organisme yang diatur oleh tatanan tertentu.[2] Deleuze adalah seorang yang kritis terhadap totalitas. Kritiknya terhadap totalitas menghindarkan dari kehaursan selalu mencari pendasaran (fondasionalisme). Fondasionalisme mengandaikan seaakan sudah ada pra-eksistensi yang sempurna. Pola pemahaman ini cenderung menafikan kebenaran karena yang baru atau berbeda hanya dianggap sebagai penyingkapan dari yang tersembunyi.[3] Cara berpikir metaforaik pohon ini mau menyatukan, mentotalisasi dan harus selalu dalam tatanan. Akibatnya, orientasi berpikirnya mencari pendasaran dan acuan sehingga kembali ke teritori, esensialisme, dan organisme atau kodifikasi.[4] Maka dengan metafora akar-pohon, harus diandaikan adanya Yang Absolut yang menjadi pemicu adanya modifikasi-modifikasi. Deleuze dalam hal ini menolak tradisi platonis yang mengandaikan bahwa setiap objek mempunyai suatu objek murni yang ada di dunia ide. Menurut Deleuze, dan juga ciri khas pemikiran postmodern, segala sesuatu berubah dan menjadi. Jadi, tak ada satu yang absolut.

Untuk menggantikan metafora akar-pohon, Deleuze menawarkan rhizome. Bersama Felix Guattari ia kembangkan rhizome dalam buku mereka “A Thousand Plateaus” (1980). Rhizome sebenarnya adalah sebuah term dalam biologi yang merujuk pada bagian tumbuhan. “Rhizomes are commonly confused with roots. Both grow underground. But a rhizome is actually a stem. If you cut a root, a rhizome, and an above-ground stem in cross section, you can see that the tissues in the rhizome look more like a stem than a root. A rhizome is in fact an underground, horizontally growing stem.”[5] Rhizome juga dapat tumbuh menjadi pohon baru di dekat pohon utama. Berlainan dengan model akar-pohon, Deleuze-Guattari menawarkan rhizome, sebuah struktur tanpa organisasi sentralistik dan hierarkis, sebuah struktur yang, dalam berbagai hal, menyerupai pola perkembangan geo-organis yang lebih natural.[6] Konsep rhizome Deleuze-Guattari berbeda dari pohon atau akar, sebab “setiap titik dari rhizome dapat terhubung kepada titik manapun, dan harus terhubung. Ini sangat berbeda dengan pohon atau akar, yang menentukan satu titik dan menetapkan suatu tatanan.”[7] Sebuah contoh yang mudah dipahami untuk memahami rhizome adalah dengan melihat akar jahe. Akar jahe terbuat dari banyak umbi berserat. Jika satu bagian dari akar jahe dipatahkan, ia akan terus tumbuh; ia akan terus memperluas diri dari titik tak berpusat yang mana ia dapat memperbanyak diri dan membentuk jaringan baru.[8]

Rhizome tak dapat direduksi menjadi Yang Satu atau Yang Banyak. Bukanlah Yang Satu yang berubah menjadi dua atau bahkan langsung menjadi tiga, empat, lima, dan sebagainya. Bukan yang banyak berasal dari yang satu, atau yang ditambahkan satu (n+1). Rhizome terdiri bukan dari satuan tetapi dimensi, atau sebetulnya arah dalam gerak. Ia tak punya awalan atau akhiran, tetapi selalu dalam antara (milieu).[9] Aspek aktif dan kreatif rhizome terletak dalam pertumbuhannya yang tidak dibatasi teritori, dan tidak mengakui adanya kode penyatu. Rhizome memberi deskripsi situs yang tidak stabil, selalu bergerak dan berubah. Metafora ini menggambarkan kode-kode lahir, beredar, dan menghilang. Yang berbeda bertemu dan membuat potongan baru rhizome.[10]

Dengan pola penalaran rhizomatis, metafisika kemenjadian a la post-modern dapat dipahami. Rhizome adalah sarana pembebasan dari struktur yang mendominasi. Sistem dapat dipandang sebagai sesuatu yang terbuka dan tidak tetap. Post-modernisme membangun sebuah perbedaan afirmatif, artinya perbedaan yang membantu ‘ada’ (tindakan, peristiwa, nilai, proses) bisa mengafirmasi diri secara kreatif untuk dirinya, bukan perbedaan reaktif yang hanya melawan yang lain.[11] Rhizome yang tanpa pusat, awalan, maupun akhiran membawa pada suatu penalaran yang melampaui dialektika. Jika dialektika memandang suatu perbedaan sebagai usaha untuk menuju ke Absolut, penalaran rhizomatis mengafirmasi perbedaan yang unik dan tanpa finalitas. Perbedaan yang saling egaliter dan terbuka. Tak ada unsur saling menegasikan atau melampaui. Rhizome hanya tumbuh dan bergerak dalam dimensi geraknya. Sama dengan pola penalaran akar-pohon, “cara dialektis dan ‘keharusan untuk logis’ akhirnya terperangkap dalam keharusan untuk mengacu ke kesatuan asali/abadi yang selalu menuntut pendasaran.”[12]

Dengan meninggalkan metafora akar-pohon menuju rhizome, manusia dapat beralih menuju subyek rhizomatik yang terbuka dan menerima perbedaan. Rhizome adalah sebuah penolakan atas asumsi-asumsi dan sejarah kelas dominan.[13] Dengan rhizome, perbedaan dapat “berhubungan tidak dibatasi dalam suatu tatanan atau kekuasaan, tetapi melalui sinergi yang berbeda bahkan radikal, menjembatani perbedaan ontologis. Tidak ada hierarkisasi, maka tidak memprioritaskan tingkat organisasi tertentu.[14] Rhizome membawa manusia merayakan perbedaan dan tak memaksa kebenarannya sendiri. Akhirnya, manusia tak lagi mengakar atau bercabang-pohon, namun berkembang dan menjadi secara rhizomatik.

[1] Nubiola, J, 1998, The branching of science according to C. S. Peirce, Hlm. 5

[2] Haryatmoko, 2016, Mendobrak Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Yogyakarta:Kanisius, hlm. 123

[3] Ibid.Hlm. 106-107

[4] Ibid. Hlm. 124

[5] http://www.plantrhizome.org/about/whatis.html, diakses pada Minggu, 14 Agustus 2016 pukul 18.15 WIB

[6] Lih. Taylor, A, 1996, Mus(e)ings on Deleuze & Guattari. Wanderings and reflections. A collection of short essays concerning the works of Gilles Deleuze & Felix Guattari and their relevance to the study of rhetoric.

[7] Deleuze, G. & Guattari, F, 1980, A Thousand Plateaus. Capitalism and Schizophrenia, Hlm. 7

[8] https://bluelabyrinths.com/2015/07/15/the-web-as-rhizome-in-deleuze-and-guattari/, diakses pada Minggu, 14 Agustus 2016 pukul 19.38 WIB

[9] Deleuze, G. & Guattari, Op.Cit,. Hlm. 21

[10] Haryatmoko, Op.Cit. Hlm. 123

[11] Ibid. Hlm. 121

[12] Ibid. Hlm. 121

[13] https://ardfilmjournal.wordpress.com/2009/09/30/brief-exploration-of-the-concept-of-the-rhizome/, diakses pada Minggu, 14 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB

[14] Haryatmoko, Op.Cit. Hlm. 123-124